Jakarta, CNBC Indonesia – Pekan kemarin, harga batu bara ditutup
melemah. Virus corona yang kini dinamai COVID-19 masih menjadi sentimen utama
yang menggerakkan berbagai harga komoditas, salah satunya batu bara.
Pada hari terakhir perdagangan Jumat
(21/2/2020), harga batu bara kontrak berjangka ICE Newcastle ditutup melemah
0,75% ke level US$ 66,6/ton. Dalam sepekan kemarin, harga batu bara telah
anjlok 4,72%.
China saat ini sedang meninjau berbagai data
yang menunjukkan berbagai aktivitas perindustriannya sebagai basis kebijakan
untuk memberikan stimulus untuk perekonomiannya yang kini sedang terkena
musibah wabah COVID-19.
Sudah hampir dua bulan, COVID-19 telah
menyebabkan lebih dari 76.000 orang di China terinfeksi dan lebih dari 2.200
orang terenggut nyawanya. Wabah ini membuat sektor bisnis di China dan rantai
pasok menjadi terganggu.
Reuters melaporkan, para analis memperkirakan
dampak virus corona terhadap perekonomian Negeri Panda berpotensi memangkas
angka pertumbuhan PDB China lebih dari 1 persen poin pada 2020 dan konsumsi
listrik diramal turun 1,5%.
Sektor tenaga listrik China masih didominasi
oleh sumber energi dari batu bara. Porsinya sekitar 60%. Jika permintaan
terhadap listrik turun, ada potensi besar permintaan terhadap batu bara juga
turun.
Virus corona yang merebak jelang perayaan
tahun baru China (imlek) memang membuat aktivitas perdagangan terganggu. Memang
secara musiman, konsumsi batu bara saat libur tahun baru mengalami penurunan
saat libur tahun baru. Namun setelah itu biasanya konsumsi akan kembali normal.
Berbeda dengan tren biasanya, virus corona
yang menjadi wabah di China membuat konsumsi batu bara di enam pembangkit
listrik utama China sampai saat ini masih berada di bawah dari konsumsi harian
pada waktu normal.
Selain itu, faktor lain yang juga menekan harga
batu bara adalah kembali beroperasinya perusahaan tambang batu bara China. Hal
ini dikonfirmasi langsung oleh Lu Junling selaku kepala departemen batu bara
pemerintah China. Lu mengatakan dalam sebuah konferensi pers kapasitas operasi
perusahaan-perusahaan batu bara China telah mencapai 76,5%.
Akibat virus corona, berbagai tambang batu
bara di China menjadi ditutup dan tak beroperasi. Hal ini dilakukan untuk
mencegah penyebaran virus agar tak semakin meluas. Akibatnya sempat ada
indikasi China akan bergantung lebih banyak pada batu bara impor untuk memenuhi
kebutuhan domestiknya.
Namun pemerintah China tak akan membiarkan itu
terjadi begitu saja. Dengan beroperasinya kembali perusahaan – perusahaan
tambang, membuat China yang awalnya diperkirakan akan sangat bergantung pada
batu bara impor menjadi lebih mandiri.
Masih rendahnya konsumsi batu bara termal di
enam pembangkit listrik utama dan kembali beroperasinya tambang batu bara
Tiongkok membuat harga batu bara terkoreksi. Maklum China merupakan negara
konsumen batu bara terbesar di dunia, sehingga apa yang terjadi di China saat
ini turut menjadi sentimen penggerak harga komoditas ini
TIM
RISET CNBC INDONESIA (twg/twg)